Inemtoto - Suatu hari telepon di kantorku
berbunyi. Saat kuucapkan “halo”, terdengar suara merdu dari seberang sana.
“Siang, bisa bicara dengan Pak Vito?” “Ya, saya sendiri, dengan siapa saya
bicara?” “Oh, ini Pak Vito? Pak, ini Herlin dari toko *** ” Aku hanya
mengiyakan, aku tahu itu adalah sebuah toko handphone di mall ini.
Aku mengira dia pasti akan
membicarakan masalah operasional, atau komplain tentang pengelolaan gedung ini.
Ternyata dugaanku meleset. “Ada yang bisa saya bantu Bu Herlin?” Aku biasa
memanggil semua orang dengan sebutan Bu, baik masih muda ataupun sudah berumur,
sekedar untuk formalitas. “Saya dengar-dengar cerita tentang Bapak, saya ingin
bertemu dengan Bapak, kapan Bapak ada waktu?” “Saya selalu ada waktu Bu,
silakan datang kapan saja Anda suka.”
10 menit kemudian, gadis muda
berusia 22 tahun ini telah ada didepanku dan menceritakan segala keluhannya.
Dia merasa tidak PD dan minder dengan penampilannya, padahal menurutku dia
sudah dalam segala hal, dari wajahnya yang cantik, ukuran tubuhnya sangat
proporsional, kulitnya yang kuning langsat tanpa noda, hanya saja dadanya
kecil, tapi paling tidak nilai totalnya 8 (menurutku). “Apa yang membuat Ibu
berpikir demikian? Saya rasa Ibu sudah memiliki segalanya. Saya yang gemuk gini
aja PD kok” Dia tersipu sambil berbisik, “Maaf Pak, tolong jangan panggil saya
Ibu, saya masih single, panggil saya Herlin.” Aku mengangguk.”Dan jangan
panggil aku Pak, panggil aja Vito.” Dia mengangguk. “Dan.., kamu bisa menyimpan
rahasia ngga Vito?” Aku memastikan hal itu kepadanya. Kemudian dia
menceritakan, bahwa dia minder dengan dadanya yang berukuran hanya 34A.
Aku cukup kaget, karena sebelumnya
aku tidak pernah menjumpai “pasien” yang mempunyai keluhan seperti ini.
“Herlin, jujur saja aku baru pertama kali menghadapi keluhan seperti ini. Kamu
pasti tahu kan, kalau selama ini aku hanya menangani pasien pasien dengan
keluhan yang ‘lumrah’, Aku ngga tau bisa berhasil atau tidak. Lagipula aku
punya istri, gimana aku harus menjelaskan ke istriku?” Herlin mengangguk dan
tersenyum, “Aku tidak akan menceritakannya kepada siapapun, aku juga malu kalau
sampai orang tahu. Dan aku harap kamu mau mencobanya dulu, kita ngga tau
hasilnya kalau belum mencoba dulu kan?” Aku berpikir keras sebelum aku
menyanggupinya. Herlin tersenyum dan memberikan kartunamanya kepadaku. “Aku
tunggu kamu di rumahku malam ini jam delapan.”
Jam delapan lewat lima menit aku sudah berada di rumah Herlin. Rumahnya tidak begitu besar tapi terasa nyaman dan sejuk.
“Kamu tinggal sendiri di sini?” tanyaku. “Ngga, sama temen-temen, tapi pada punya acara sendiri-sendiri ama pacarnya. Makanya aku nyuruh kamu datangnya hari ini, biar dirumah ngga ada orang. Yuk cepetan, nanti keburu temen-temen pulang” Aku mengangguk dan mengikuti Herlin yang melangkah ke kamarnya.
Kamarnya didominasi warna pink muda, dingin hembusan angin dari AC terasa di kulitku, membuatku merinding. Dengan malu-malu Herlin membuka kaos dan branya, dan aku menyuruhnya tidur terlentang. Sejenak aku agak grogi karena baru pertama kali melihat tubuh wanita selain istiku setengah telanjang, tapi bagaimanapun aku harus melaksanakan kewajibanku. Aku mulai terapi dengan memijit titik-titik darah yang berada di pundak dan dada atasnya. Setelah kurasa darahnya telah mengalir lancar, aku mulai memijit payudaranya dengan pijitan yang lembut.
Jam delapan lewat lima menit aku sudah berada di rumah Herlin. Rumahnya tidak begitu besar tapi terasa nyaman dan sejuk.
“Kamu tinggal sendiri di sini?” tanyaku. “Ngga, sama temen-temen, tapi pada punya acara sendiri-sendiri ama pacarnya. Makanya aku nyuruh kamu datangnya hari ini, biar dirumah ngga ada orang. Yuk cepetan, nanti keburu temen-temen pulang” Aku mengangguk dan mengikuti Herlin yang melangkah ke kamarnya.
Kamarnya didominasi warna pink muda, dingin hembusan angin dari AC terasa di kulitku, membuatku merinding. Dengan malu-malu Herlin membuka kaos dan branya, dan aku menyuruhnya tidur terlentang. Sejenak aku agak grogi karena baru pertama kali melihat tubuh wanita selain istiku setengah telanjang, tapi bagaimanapun aku harus melaksanakan kewajibanku. Aku mulai terapi dengan memijit titik-titik darah yang berada di pundak dan dada atasnya. Setelah kurasa darahnya telah mengalir lancar, aku mulai memijit payudaranya dengan pijitan yang lembut.
Payudaranya kecil tetapi terasa
kencang. Herlin memejamkan matanya dan sesekali mengeluarkan lenguhan dan
erangan saat tanganku menyentuh putingnya yang berwarna coklat muda itu. Tak
kusadari, adikku mulai berdiri. Bagaimanapun juga, aku sebagai manusia normal
tetap bisa terangsang, apalagi berada dalam satu ruangan dengan wanita muda
yang cantik setengah telanjang dan aku sedang memijit payudaranya. “Vito..,
jangan disitu terus dong mijitnya, geli..” Aku terkejut, tanpa kusadari
pijitanku lebih sering berada di daerah sekitar putingnya. “Ha? ehm.. iya..
maaf.” Herlin mungkin melihat wajahku yang memerah, dia tertawa dan berkata,
“hi..hi..hi.., kenapa? Kamu terangsang ya..? Ngga pa pa deh, aku juga suka
kok.. Cuma agak geli aja..” kata-katanya membuatku semakin gugup. “eh..
kayaknya hari ini cukup dulu deh Lin, mungkin besok bisa diterusin..” jawabku.
Herlin semakin ngakak, “Vito.. kamu kok lugu banget sih? Nggak pa pa.. terusin
aja.. Kenapa? takut ketahuan istri kamu ya?”