Setelah memiliki seorang anak, aku mendapatkan vonis
dokter jika rahimku bermasalah dan tidak dianjurkan jika menambah momongan
lagi. Mendengar hal itu tentu saja membuat diriku sedih dan tidak karuan.Dengan
kondisiku yang seperti itu, suamiku pun meminta izin untuk menikah lagi dengan
wanita lain karena dirinya ingin memiliki anak lagi. Hal tersebut ia lakukan
saat anakku berusia 1 tahun. Walaupun berat, akhirnya aku izinkan suamiku untuk
menikah lagi mengingat keterbatasan yang kumiliki saat ini sebagai seorang
wanita.
Sejak pernikahannya, dia jarang pulang ke rumah.
Paling sekali dalam seminggu. Kini setelah usia anakku 15 tahun, suamiku justru
tak pernah pulang ke rumah lagi. Dia telah memiliki 4 orang anak, tepatnya dua
pasang dari istri mudanya dan dua anak lagi dari istrinya yang ketiga.Aku harus
puas, memiliki tiga buah toko yang serahkan atas namaku serta sebuah mobil dan
sebuah taksi selain sedikit deposito yang terus kutabung untuk biaya kuliah
anakku Wendi nanti.
Wendi sendiri sudah tak perduli pada ayahnya. Malah,
kalau ayahnya pulang, kelihatan Wendi tak bersahabat dengannya. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Semoga saja Wendi tidak berdosa pada ayahnya.
Setiap malam Aku selalu mengeloni Wendi agar tubuhku
tak kedinginan ditiup oleh suasana dingin AC di kamar tidurku. Wendi juga kalau
kedinginan, justru merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Wendi memang anak yang manja
dan aku menyayanginya.
Sudah menjadi kebiasaanku, kalau aku tidur hanya
memakai daster mini tanpa sehelai kain pun di balik daster miniku. Aku menikmati
tidurku dengan udara dinginnya AC dan timpa selimut tebal yang lebar. Nikmat
sekali rasanya tidur memeluk anak semata wayangku, Wendi. Kusalurkan belai
kasih sayangku padanya. Hanya padanya yang aku sayangi.
Sudah beberapa kali aku merasakan buah dadaku
diisap-isap oleh Wendi. Aku mengelus-elus kepala Wendi dengan kelembutan dan
kasih sayang. Tapi kali ini, tidak seperti biasanya. Hisapan pada pentil
payudaraku, terasa demikian indahnya. Terlebih sebelah tangan Wendi
mengelus-elus bulu vaginaku. Oh nikmat sekali. Aku membiarkannya. Toh dia
anakku juga. Biarlah, agar tidurnya membuahkan mimpi yang indah.
Saat aku mencabut pentil payudaraku dari mulut
Wendi, dia mendesah.
“Mamaaaaa”
Kuganti memasukkan pentil payudaraku yang lain ke
dalam mulutnya. Selalu begitu, sampai akhirnya mulutnya terlepas dari
payudaraku dan aku menyelimutinya dan kami tertidur pulas. Malam ini, aku
justru sangat bernafsu. Aku ingin disetubuhi.
Ah… Mampukah Wendi menyetubuhiku. Usianya baru 15
tahun. Masih SMP. Mampukah. Pertanyaan itu selalu bergulat dalam bathinku.
Keesokan paginya, saat Wendi pergi ke sekolah, aku
membongkar lemari yang sudah lama tak kurapikan. Di lemari pakaian Wendi di
kamarnya (walau dia tak pernah meniduri kamarnya itu) aku melihat beberapa
keping CD. Saat aku putar, ternyata semua nya film-film porno dengan berbagai
posisi. Dadaku gemuruh.
Apaah anakku sudah mengerti seks? Apakah dia sudah
mencobanya dengan perempuan lain? Atau dengan pelacur kah? Haruskah aku
menanyakan ini pada anakku? Apakah jiwanya tidak terganggu, kalau aku
mempertanyakannya? Dalam aku berpikir, kusimpulkan, sebaiknya kubiarkan dulu
dan aku akan menyelidikinya dengan sebaik mungkin dengan setertutup mungkin.
Seusai Wendi mengerjakan PR-nya (Disekolah Wendi
memang anak pintar), dia menaiki tempat tidur dan memasuki selimutku. Dia cium
pipi kiri dan pipi kananku sembari membisikkan ucapan selamat malam dan selalu
kubalas dengan ucapan yang sama.
Tapi kalau aku sudah tertidur, biasanya aku tak
menjawabnya. Dadaku gemuruh, apaah malam ini aku mempertanyakan CD porno itu.
Akhirnya aku membiarkan saja. Dan Aku kembali merasakan buah dadaku dikeluarkan
dari balik dasterku yang mini dan tipis. Wendi mengisapnya perlahan-lahan. Ah…
kembali aku bernafsu.
Terlebih kembali sebelah tangannya mengelus-elus
bulu vaginaku. Sebuah jari-jarinya mulai mengelus klentitku. AKu merasakan
kenikmatan. Kali ini, aku yakin Wendi tidak tidur. Aku merasakan dari nafasnya
yang memburu.
Aku diam saja. Sampai jarinya memasuki lubang
vaginaku dan mempermainkan jarinya di sana dan tangan yang satu terus memainkan
payudaraku. Ingin rasanya aku mendesah, tapi…
Aku tahu, Wendi menurunkan celananya, sampai bagian
bawah tubuhnya sudah bertelanjang. Dengan sebelah kakinya, dia mengangkangkan
kedua kakiku. Dan Wendi menaiki tubuhku dengan perlahan. Aku merasakan penisnya
mengeras. Berkali-kali dia menusukkan penis itu ke dalam vaginaku. Wendi
ternyata tidak mengetahui, dimana lubang vagina.
Berkali-kali gagal. Aku kasihan padanya, karena
hampir saja dia putus asa. Tanpa sadar, aku mengangkangkan kedua kakiu lebih
lebar. Saat penisnya menusuk bagian atas vaginaku, aku mengangkat pantatku dan
perlahan penis itu memasuki ruang vaginaku. Wendi menekannya. Vaginaku yang
sudah basah, langsung menelan penisnya.
Nampaknya Wendi belum mampu mengatasi keseimbangan
dirinya. Dia langsung menggenjotku dan mengisapi payudaraku. Lalu
*crooot…croot…croooootttt..*
Spermanya menyemprot di dalam vaginaku. Tubuhnya
mengejang dan melemas beberapa saat kemudian. Perlahan Wendi menuruni tubuhku.
Aku belum sampai… tapi aku tak mungkin berbuat apa-apa.
Besok malamnya, hal itu terjadi lagi. Terjadi lagi
dan terjadi lagi. Setidaknya tiga kali dalam semingu. Wendi pun menjadi
laki-laki yang dewasa. Tak sedikit pun kami menyinggung kejadian malam-malam
itu. Kami hanya berbicara tentang hal-hal lain saja. Sampai suatu sore, aku
benar-benar bernafsu sekali.
Ingin sekali disetubuhi. Saat berpapasan dengan
Wendi aku mengelus penisnya dari luar celananya. Wendi membalas meremas
pantatku. Aku secepatnya ke kamar dan membuka semua pakaianku, lalu merebahkan
diri di atas tempat di tutupi selimut. Aku berharap, Wendi memasuki kamar
tidurku. Belum sempat usai aku berharap, Wendi sudeah memasuki kamar tidurku.
Di naik ke kamar tidurku dan menyingkap selimutku.
Melihat aku tertidur dengan telanjang bulat, Wendi langsung melepas
semuapakaiannya. Sampai bugil. Bibirku dan payudaraku sasaran utamanya. AKu
mengelus-elus kepalanya dan tubuhnya. Sampai akhirnya aku menyeret tubuhnya
menaiki tubuhku. KUkangkangkan kedua kakiku dan menuntun penisnya menembus
vaginaku.
Nafsuku yang sudah memuncak, membuat kedua kakiku
melingkar pada pinggangnya. Mulutnya masih rakus mengisapi dan menggigit kecil
pentil payudaraku. Sampai akhirnya, kami sama-sama menikmatinya dan melepas
kenikmatan kami bersama. Seusai itu, kami sama-sama minum susu panas dan
bercerita tentang hal-hal lain, seakan apa yang baru kami lakukan, buka sebuah
peristiwa.
Malamnya, seisai Wendi mengerjakan PR-nya dia
mendatangiku yang lagi baca majalah wanita di sofa. Tatapan matanya, kumengerti
apa maunya. Walau sore tadi kami baru saja melakukannya. Kutuntun dia duduk di
lantai menghadapku. Setelah dia duduk,aku membuka dasterku dan mengarahkan
wajahnya ke vaginaku. AKu berharap Wendi tau apa yang harus dia lakukan,
setelah belajar dari CD pornonya.
Benar saja, lidah Wendi sudah bermain di vaginaku.
Aku terus membaca majalah, seperti tak terjadi apa-apa. AKu merasa nikmatr
sekali. Lidahnya terus menyedot-nyedot klentitku dan kedua tangannya
mengelus-elus pinggangku. Sampa akhirnya aku menjepit kepalanya, karean aku
akan orgasme.
Wendi menghentikan jilatannya Dan aku melepaskan
nikmatku. Kemudia kedua kakiku kembali merenggang. AKu merasakan Wendi
menjilati basahnya vaginaku. Setelah puas, Wendi bangkir. Aku turun ke lantai.
Kini Wendi yang membuka celananya dan menarik kepalaku agar mulutku merapat ke
penisnya. Penis yang keras itu kujilati dengandiam. Wendi menyandarkan
kepalanya ke sandaran sofa. Kepalaku ditangkapnya dan dileus-elusnya.
Aku terus menjilatinya dan terus melahap penisnya,
sampai spermanya memenuhi mulutku. Sampai akhirnyanormal kembali dan kami duduk
bersisian menyaksikan film lepas di TV. Seusai nonton film, aku mengajaknya
untuk tidur, karean besok dia harus sekolah, dan aku harus memeriksa pembukuan
toko.
“yuk tidur sayang,” kataku.Wendi bangkit dan
menggamit tanganku, lalu kami tertidur pulas sampai pagi.
Siang itu, aku mendengar Wendi pulang sekolah dan
dia minta makan. Kami sama-sama makan siang di meja makan. Usai makan siang,
kami sama-sama mengangkat piring kotor dan sama-sama mencucinya di dapur. Wendi
menceritakan guru baruya yang sangat disiplin dan terasa agak kejam. Aku
mendengarkan semua keluhan dan cerita anakku.
Itu kebiasaanku, sampai akhirnya aku harus
mengetahui siapa Wendi. Aku juga mulai menanyakan siapa pacarnya dan pernah
pergi ke tempat pelacuran atau tidak. Sebenarnya aku tahu Wendi tidak pernah
pacaran dan tidak pernah kepelacuran dari diary-nya. Kami sama-sama menyusun
piring dan melap piring sampai ke ring ke rak-nya, sembari kami terusbercerita.
“Ma…besok Wendi diajak teman mendaki gunung…boleh
enggak, Ma?” tanya Wendi meminta izinku sembari tangannya memasuku bagian atas
dasterku dan mengelus payudaraku.
“Nanti kalau sudah SMA saja ya sayang…” kataku
sembari mengelus penis Wendi.
“Berarti tahun depan dong, Ma,” katanya sembari
mengjilati leherku.
“Oh… iya sayang… Tahun depan” kataku pula sembari
membelai penisnya dan melepas kancing celana biru sekolahnya dan melepas semua
pakaiannya sampai Wendi telanjang bulat.
“Kalau mama bilang gak boleh ya udah. Wendi gak
ikut,” katanya sembari melepaskan pula kancing dasterku sampai aku telanjang
bulat.
Ya.. kami terus bercerita tentang sekolah Wendi dan
kami sudah bertelanjang bulat bersama
“Sesekali kita wisata ke puncak yuk ma…” kata Wendi
sembari menjilati leherku dan mengelus payudaraku. Aku duduk di kursi kamar dan
Wendi berdiri di belakangku. Uh… anakku sudah benar-benar dewasa. Dia ingin
sekali bermesraan dan sangat romantis.
“Kapan Wendi maunya ke puncak?” kataku sembari
menkmati jilatannya. Aku pun mulai menuntunnya agar berada di hadapanku.
Wendi kubimbing untuk naik ke atas tubuhku. Kedua
kakinya mengangkangi tubuhku dan bertumpu pada kursi. Panttanya sudah berada di
atas kedua pahaku dan aku memeluknya. Kuarahkan murnya untuk mengisap pentil
payudaraku.
“Bagaimana kalau malam ini saja kita ke puncak
sayang. Besok libur dan lusa sudah minggu. Kita di puncak dua malam,” kataku
sembari mengelus-elus rambutnya.
“Setuju ma. Kita bawa dua buah selimut ma,” katanya
mengganti isapan nya dari payudaraku yang satu ke payudaraku yang lain.
“Kenapa harus dua sayang. Satu saja..” kataku yang
merasakan tusukan penisnya yang mengeras di pangkal perutku.
“Selimutnya kita satukan biar semakin tebal, biar
hangat ma. Dua selimut kita lapis dua,” katanya. Dia mendongakkan wajahnya dan
memejamkan matanya, meminta agar lidahku memasuki mulutnya. Aku membernya.
Sluuupp… lidahku langsung diisapnya dengan lembut dan sebelah tangannya
mengelus payudaraku.
Tiba-tiba Wendi berdiri dan mengarahkan penisnya ke
mulutku. Aku menyambutnya. Saat penis itu berada dalam mulutku dan aku mulai
menjilatinya dalam mata terpejam Wendi mengatakan.
”Rasanya kita langsung saja pergi ya ma. Sampai
dipuncak belum sore. Kita boleh jalan-jalan ke gunung yang dekat villa itu,”
katanya.
Aku mengerti maksudenya, agar aku cepat
menyelesaikan keinginannya dan kami segera berangkat. Cepat aku menjilati
penisnya dan Wendi Meremas-remas rambutku dengan lembut. Sampai akhirnya, Wendi
menekan kuat-kuat penisnya ke dalam mulutku dan meremas rambutku juga.
Pada tekak mulutku, aku merasakan hangatnya
semprotan sperma Wendi beberapa kali. Kemudian dia duduk kembali ke pangkuanku.
Di ciumnya pipiku kiri-kanan dan mengecup keningku. Uh… dewasanya Wendi. Au
membalas mengecup keningnya dengan lembut.
Wendi turun dari kursi, lalu memakaikan dasterku dan
dia pergi ke kamar mandi. Aku kekamar menyiapkan sesuatu yang harus kami bawa.
Aku tak lupamembawa dua buah selimut dan pakaian yang mampu mebnghangatkan
tubuhku. Semua siap. Mobil meluncur ke puncak, mengikuti liuknya jalan aspal
yang hitam menembus kabut yang dingin.
Kami tiba pukul 15.00. Setelah check in, kami
langsung makan di restoran di tepi sawah dan memesan ikan mas goreng serta
lapannya. Kami makan dengan lahap sekali. Dari sana kami menjalani jalan
setapak menaik ke lereng bukit. Dari sana, aku melihat sebuah mobil biru tua,
Toyota Land Cruiser melintas jalan menuju villa yang tak jauh dari villa kami.
Mobil suamiku, ayahnya Wendi. Pasti dia dengan istri
mudanya atau dengan pelacur muda, bisik hatiku. Cepat kutarik Wendi agar dia
tak melihat ayahnya. Aku terlambat, Wendi terlebih daulu melihat mobil yang dia
kenal itu. Wendi meludah dan menyumpahi ayahnya.
”Biadab !!!” Begitu bencinya dia pada ayahnya. Aku
hanya memeluknya dan mengelus-elus kepalanya. Kami meneruskan perjalanan. Aku
tak mau suasana istirahat ini membuatnya jadi tak indah.
Sebuah bangku terbuat dari bata yang disemen. Kami
duduk berdampingan diatasnya menatap jauh ke bawah sana, ke hamparan sawah yang
baru ditanami. Indah sekali.
Wendi merebahkan kepalanya ke dadaku. AKu tahu galau
hatinya. Kuelus kepalanya dan kubelai belai.
“Tak boleh menyalahkan siapapun dalam hidup ini.
Kita harus menikmati hidup kita dengan tenang dan damai serta tulus,” kata ku
mengecup bibirnya.
Angin mulai berhembus sepoi-sepoi dan kabut sesekali
menampar-nampar wajah kami. Wendi mulai meremas payudaraku , walau masih
ditutupi oleh pakaianku dan bra.
“Iya. Kita harus hidup bahagia. Bahagia hanya untuk
milik kita saja,” katanya lalu mencium leherku.
“Kamu lihat petani itu? Mereka sangat bahagia meniti
hidupnya,” kataku sembari mengelus-elus penisnya dari balik celananya. Wendi
berdiri, lalu menuntunku beridiri. Aku mengikutinya. Dia mengelus-elus pantatku
dengan lembut.
“Lumpur-lumpur itu pasti lembut sekali, Ma,” katanya
terus mengelus pantatku. Pasti Wendi terobsesi dengan anal seks, pikirku. Aku
harus memberinya agar dia senang dan bahagia serta tak lari kemana-mana apalagi
ke pelacur. Dia tak boleh mendapatkannya dari perempuan jalang.
Kami mulai menuruni bukit setelah mobil Toyota biru
itu hilang, mungkin ke dalam garasi villa. Wendi tetap memeluk pinggangku dan
kami memesan dua botol teh. Kami meminumnya di tepi warung.
“Wah… anaknya ganteng sekali bu. Manja lagi,” kata
pemilik warung. Aku tersenyum dan Wendipun tak melepaskan pelukannya. Sifatnya
memang manja sekali.
“Senang ya bu, punya anak ganteng,” kata pemilik
warung itu lagi. Kembali aku tersenyum dan orang-orang yang berada di warung
itu kelihatan iri melihat kemesraanku dengan anakku. Mereka pasti tidak tau apa
yang sedang kami rasakan. Keindahan yang bagaimana. Mereka tak tahu.
Setelah membayar, kami menuruni bukit dan kembali ke
villa. Angin semakin kencang sore menjelang mahgrib itu. Kami memesan dua gelas
kopi susu panas dan membawanya ke dalam kamar. Setelah mengunci kamar, aku
melapaskan semua pakaianku. Bukankah tadi Wendi mengelus-elus pantatku?
bukankah dia ingin anal seks? Setelah aku bertelanjang bulat, aku mendekati
Wendi dan melepaskan semua pakaiannya.
Kulumasi penisnya pakai lotion. Aku melumasi pula
duburku dengan lotion. Di lantai aku menunggingkan tubuhku. Wendi mendatangiku.
Kutuntun penisnya yang begitu cepat mengeras menusuk lubang duburku.
Aku pernah merasakan ini sekali dalam hidupku ketika
aku baru menikah. Sakit sekali rasanya. Dari temanku aku mengetahui, kalau mau
main dri dubur, harus memakai pelumas, katanya. Kini aku ingin praktekkan pada
Wendi
Wendi mengarahkan ujung penisnya ke duburku. Kedua
lututnya, tempatnya bertumpu. Perlahan…perlahan dan perlahan. Aku merasakan
tusukan itu dengan perlahan. Ah.. Wendi, kau begitu mampu memberikan apa yang
aku inginkan, bisik hatiku sendiri. Setiap kali aku merasa kesat, aku denga
tanganku menambahi lumasan lotion ke batangnya. Aku merasakan penis itu
keluar-masukdalam duburku.
Kuarahkan sebelah tangan Wendi untuk mengelus-elus
klentitku. Waw… nimat sekali. Di satu sisi klentitku nikat disapu-sapu dan di
sisi lain, duburku dilintasi oleh penis yang keluar masuk sangat teratur. Tak
ada suara apa pun yang terdengar.
Sunyi sepi dan diam. Hanya ada desau angin, desah
nafas yang meburu dan sesekali ada suara burung kecil berkicau di luar sna,
menuju sarangnya.
Tubuh Wendi sudah menempel di punggungku. Sebelah
tangannya mengelus-elus klentitku dan sebelah lagi meremas payudaraku. Lidahnya
menjilati tengkukku dan dan leherku bergantian. Aku sangat beruntung mememiliki
anak seperti Wendi.
Dia laku-laki perkasa dan penuh kelembutan. Tapi…
kenapa kali ini dia begitu buas dan demikian binal? Tapi… Aku semakin menikmati
kebuasan Wendi anak kandungku sendiri. Buasnya Wendi, adalah buas yang sangat
santun dan penuh kasih.
Aku sudah tak mampu membendung nikmatku. AKu
menjepit tangan Wendi yang masih mengelus klentitku jugamenjepit penisnyadengan
duburku. Wendi mendesah-desah…
“Oh… oh….oooooohh…”
Wendi menggigit bahuku dan mempermainkan lidahnya di
sela-sela gigitannya. Dan remasan pada payudaraku terasa begitu nikmat sekali.
“Ooooooooooohhhh..” desahnya dan aku pun menjerit.
“Akhhhhhhhhhhhh..” Lalu aku menelungkup di lantai
karpet tak mampu lagi kedua lututku untuk bertumpu.
Penis Wendi mengecil dan meluncur cepat keluar dari
duburku. Wendi cepat membalikkan tubuhku. Langsung aku diselimutinya dan dia
masuk ke dalam selimut, sembari mengecupi leherku dan pipiku. Kami terdiam,
sampai desah nafas kami normal.
Wendi menuntunku duduk dan membimbingku duduk di
kursi, lalu melilit tubuhku dengan selimut hotel yang tersedia di atas tempat
tidur. Dia mendekatkan kopi susu ke mulutku.
Aku meneguknya. Kudengar dia mencuci penisnya, lalu
kembali mendekat padaku. Dia kecup pipiku dan mengatakan:”Malam ini kita makan
apa, Ma?”
“Terserah Wendi saja sayang.”
“Setelah makan kita kemana, Ma?” dia membelai pipiku
dan mengecupnya lagi.
“Terserah Wendi saja sayang. Hari ini, adalah
harinya Wendi. Mama ngikut saja apa maunya anak mama,” kataku lembut.
“OK, Ma. Hari ini harinya Wendi. Besok sampai
minggu, harinya mama. Malam ini kita di kamar saja. Aku tak mau ketemu dengan
orang yang naik Toyota Biru itu,” katanya geram. Nampaknya penuh dendam. Aku
menghela nafas.
Usai makan malam, kami kembali ke kamar dan langsung
tidur di bawah dua selimut yang hangat dan berpelukan. Kami tidur sampai pukul
09.00 pagi baru terbangun.